Wednesday, April 25, 2012

Perkara Gaib : Jin dan Syaitan

Dalam kitab suci al-Qur’an, tepatnya setelah QS. al-Fatihah, yang merupakan induk al-Qur’an sekaligus kesimpulannya, hal pertama yang ditemukan adalah uraian tentang fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang bertakwa, sedangkan sifat pertama orang-orang bertakwa adalah yu’minuna bi al-ghaib (percaya yang gaib).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan gaib dengan sesuatu yang tersembunyi, tidak kelihatan, atau tidak diketahui sebab-sebabnya. Sementara, kamus berbahasa Arab menjelaskannya dengan antonim dari syahadat. Kata syahadat berarti hadir atau kesaksian, baik dengan mata kepala maupun mata hati. Jika demikian, yang tidak hadir adalah gaib. Sesuatu yang tidak disaksikan juga adalah gaib. Bahkan, sesuatu yang tidak terjangkau oleh pancaindra juga merupakan gaib, baik disebabkan oleh kurangnya kemampuan maupun oleh sebab-sebab lainnya.


Tidak dapat disangkal bahwa banyak hal yang gaib bagi manusia, serta beragam pula tingkat kagaibannya. Ada gaib mutlak, yang tidak dapat terungkap sama sekali karena hanya Allah yang mengetahuinya, dan ada pula gaib yang relatif. Sesuatu yang tidak diketahui seseorang tetapi diketahui oleh orang lain, ia adalah gaib relatif. Relativitas tersebut dapat berkaitan dengan waktu dan dapat juga dengan manusianya. Puncak dari segala gaib mutlak adalah Allah SWT..

Selain Allah, masih ada sekian gaib mutlak lainnya yang berada pada peringkat di bawah peringkat kegaiban Allah SWT., seperti hari Kiamat. Tidak satu makhluk pun mengetahui kapan datangnya.[1] Serta keberadaan jin dan syaitan.

B.     Gambaran Tentang Jin

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jin diartikan sebagai makhluk halus (yang dianggap berakal). Dari segi bahasa al-Qur’an, kata jinn terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, jim ج)), nun (ن), dan nun (ن). Menurut pakar-pakar bahasa, semua kata yang terdiri dari rangkaian ketiga huruf ini mengandung makna ketersembunyian atau ketertutupan. Kata janna (جن) dalam QS. al-An’am (6): 76 berarti menutup. Allah berfirman:

$£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø‹©9$# #uäu $Y6x.öqx.$# 

Artinya: “Ketika malam telah menutupinya, dia (Ibrahim as.) melihat bintang.”

Manusia yang tertutup akalnya (gila) dinamai majnun, sedangkan bayi yang masih dalam perut ibu, karena ketertutupannya oleh perut, maka dinamai janin. Al-Junnah adalah perisai karena dia menutupi seseorang dari gangguan orang lain, baik fisik maupun non-fisik.

Secara umum, masyarakat Jahiliyah percaya adanya makhluk yang bernama jin, yang mereka yakini sebagai makhluk yang memiliki kekuatan tersembunyi. Menurut kepercayaan mereka, jin mampu mengakibatkan gangguan, di samping juga memberi manfaat.[2]

Jin ialah makhluk yang berbentuk roh dan berakal, mempunyai keinginan, dan diberi beban sebagaimana manusia. Mereka tidak diciptakan dari materi manusia dan tidak dapat diindra. Alam dan bentuk mereka secara hakikat tidak dapat diketahui.

Untuk mengetahui alam jin adalah wahyu, kita telah mendapat petunjuk al-Qur’an dan hadits yang sahih tentang pokok materi mereka ciptakan, tentang golongan mereka, tentang tempat kembalinya setiap golongan, tentang beban mereka, dan tentang mendengarkannya mereka terhadap bacaan al-Qur’an dari Rasulullah.

Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari tanah kering, dari tanah hitam yang telah berubah. Kami telah menciptakan jin dari api yang panas sebelum manusia” (QS. Al-Hijr: 26-27). Kedua ayat itu menunjukkan ketentuan sebagai berikut:

1.      Manusia mulanya diciptakan dari debu dan dicampur dengan air. Debu itu lantas menjadi tanah dan merendam sehingga menjadi tanah liat yang berubah dan berbau, kemudian menjadi tanah kering.

2.      Jin pada mulanya diciptakan dari api yang tidak berasap karena panas adalah jilatan api murni.

3.      Ciptaan jin lebih awal dari pada ciptaan manusia.[3]

Jin itu berbeda dengan manusia dan malaikat, baik tentang asal kejadiannya, fungsi dan peranannya, maupun tentang sifat-sifatnya. Tetapi dalam kewajiban beribadah kepada Allah, mereka sama seperti manusia, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Dzariyat ayat 56:

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”[4]

Jin mempunyai beberapa golongan. Pertama, paripurna dalam konsistensinya, bersikap baik, dan mengerjakan kebaikan. Kedua, kebalikan dari yang pertama. Ketiga, bodoh dan lengah. Keempat, kafir, ini paling mayoritas.

Allah berfirman menceritakan keadaan jin ketika mendengarkan al-Qur’an: “Di antara kami ada yang saleh dan yang tidak. Kami mempunyai jalan (aliran yang bermacam-macam)” (QS. 72:11). Artinya, di antara mereka ada yang sangat baik dan ada yang kurang baik. Mereka mempunyai aliran yang berbeda-beda sebagaimana manusia.

Jin diberi beban sebagaimana manusia dan para rasul. Allah berfirman: “Wahai golongan jin dan manusia. Tidakkah sampai kepada kalian para rasul di antara kalian yang menceritakan beberapa ayat-Ku dan memberi peringatan kepada kalian pada pertemuan hari kiamat? Mereka menjawab: Kami menyaksikan diri kami. Mereka terpedaya oleh kehidupan dunia. Mereka mengakui kesalahan diri mereka. Sesungguhnya mereka itu orang-orang kafir” (QS. 6:130). “Kami akan menyelesaikan kalian, wahai dua golongan yang diberatkan. Nikmat Tuhan yang manakah yang kalian dustakan? Wahai golongan jin dan manusia, jika kalian mampu menembus dari berbagai penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kalian tidak akan mampu menembus kecuali dengan kekuatan. Nikmat Tuhan yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. 55:31-34).[5]

Allah menundukkan jin kepada Sulaiman. Menurut sepengetahuan kita, hal itu tidak pernah terjadi kepada yang lain. Allah berfirman: “Angin Kami tundukkan kepada Sulaiman yang bertiup dengan perintahnya dengan sepoi-sepoi menurut kehendaknya. Masing-masing setan menjadi tukang bangunan dan tukang selam sedang yang lain diikat dengan belenggu rantai. Ini pemberian Kami. Oleh karenanya, berikanlah atau tahankanlah dengan dengan tanpa hisab” (QS. 38:36-49).[6]

C.    Gambaran Tentang Iblis dan Setan

 Di dalam pendefinisian kata “setan” terdapat beberapa pendapat. Ada yang menduga bahwa kata “setan” atau “syaithan” dalam bahasa Arab terambil dari bahasa Ibrani yang berarti lawan atau musuh. Alasannya antara lain, kata itu telah dikenal dalam agama Yahudi yang lahir mendahului agama Kristen dan Islam. Seperti diketahui orang-orang Yahudi menggunakan bahasa Ibrani.

Pendapat di atas hanya bisa diterima jika dapat dibuktikan bahwa yang pertama berbicara tentang setan adalah penganut agama Yahudi. Demikian ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam bukunya yang berjudul Iblis. Tetapi, tulisnya lebih jauh: “Sesungguhnya itu tidak dapat dibuktikan karena orang-orang Yahudi baru menggunakan kata setan dalam arti kejahatan setelah mereka berhijrah ke Babel. Sedangkan semua orang tahu bahwa jalur Babel bukanlah jalur yang tertutup bagi bangsa-bangsa Semit selain Yahudi.”

Pakar Mesir cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa syaithan (setan) merupakan kata Arab asli yang sudah sangat tua, bahkan boleh jadi lebih tua dari kata-kata serupa yang digunakan selain oleh orang Arab. Ini dibuktikan dengan adanya sekian kata Arab asli yang dapat dibentuk dengan bentuk kata syaithan.

Misalnya syathatha (شطط), syatha (شط), syawatha (شوط), syathana (شطن) yamg mengandung makna jauh, sesat, berkobar, dan terbakar serta eksterm.”

Dalam kamus al-Misbah al-Munir karya Ahmad Ibn Muhammad ‘Ali al-Fayyumi (w. 1368) dijelaskan bahwa kata syaithan boleh jadi terambil dari akar kata syathana yang berarti jauh karena setan menjauh dari kebenaran atau menjauh dari rahmat Allah. Boleh jadi juga ia terambil dari kata syatha dalam arti melakukan kebatilan atau terbakar.

Dari segi makna, pakar bahasa, al-Jauhari (w. 1005), menjelaskan bahwa semua yang membangkang, baik jin, manusia maupun binatang, dinamai syaithan.[7]

Di dalam dunia ini terdapat banyak nama-nama setan. Semua agama mengenal setan, walau nama ini bukan satu-satunya nama untuk yang durhaka atau yang jahat. Al-Qur’an misalnya, menunjuk juga setan dengan kata ath-Thaghut. Kata ini terambil dari kata kerja thagha yang pada mulanya digunakan untuk menggambarkan meluapnya air sehingga mencapai batas kritis dan membahayakan. Makna ini kemudian berkembang sehingga digunakan untuk segala sikap yang melampaui batas, baik terhadap Tuhan maupun terhadap manusia. Kekufuran, kedurhakaan, pembangkangan, serta kesewenang-wenangan dilukiskan dengan Thughyan. Setan dinamai thaghut karena ia telah mencapai puncak kekufuran dan pembangkangan terhadap Allah SWT.

Luficer dikenal oleh umat Kristen sebagai salah satu nama setan. Kata ini pada mulanya berarti Pembawa Cahaya. Manusia yang dinamai Luficer berarti menyala, berkilau, dan angkuh dengan keangkuhan yang luar biasa sehingga menimbulkan kejengkelan siapa yang melihatnya serta mengharap kejatuhannya.

Nama lain untuk setan yang ditemukan dalam Perjanjian Baru adalah Ba’alzabul. Kata ini terdiri dari dua kata, yaitu Ba’al/beel yang berarti Tuhan dan Zebul yang berarti lalat. Karena lalat sering hinggap atau menyukai tempat kotor/sampah, Ba’alzabul dipahami dalam arti Tuhan sampah/Tuhan lalat.

Iblis juga merupakan nama yang populer. Ada yang berpendapat bahwa kata itu bukan terambil dari bahasa Arab. Konon, asalnya dari bahasa Yunani yakni Diabolos. Kata ini terdiri dari kata dia yang berarti di tengah atau sewaktu-waktu dan ballein yang berarti melontar atau mencampakkan. Dari penggabungannya, lahir makna-makna antara lain, menantang, menghalangi, dan yang berada antara dua pihak untuk memecah belah dan menciptakan kesalahpahaman antara keduanya.[8]

Iblis yang juga syaitan itu hanya satu. Sahabat Nabi saw., Ibn  ‘Abbas menurut sebuah riwayat berpendapat bahwa setan adalah anak cucu iblis. Anak cucunya tidak mati, kecuali dengan kematian iblis yang pernah bermohon agar diberi tangguh sampai hari kebangkitan (QS. Al-A’raf [7]: 14).[9]

 “Iblis adalah sebuah nama bukan dari bahasa Arab. Oleh karenanya, kata “iblis” tidak dapat ditashrif (ditanwin). Menurut satu pendapat, kata “iblis” adalah berasal dari bahasa Arab yang dikeluarkan dari kata “iblas”, yaitu putus asa dari rahmat Allah atau menjauhkan diri dari kebaikan dan tidak dapat ditashrif (ditanwin) karena tidak ada nama yang sepadan atau karena kata “iblis” menyerupai nama-nama yang bukan Arab.

Jika malaikat adalah tentara Allah yang selalu mengerjakan kebaikan dan keberuntungan, maka iblis beserta setan adalah musuh Allah yang selalu mengerjakan kejahatan dan kerusakan. Perbuatan malaikat dan setan berada di dua ujung yang saling bertentangan. Pekerjaan setan selalu menentang Allah, memecah belah, menghancurkan, merusak, membinasakan, memutus perintah Allah agar disambung, dan menyambung perintah-Nya agar diputus.[10]

Di dunia iblis terdapat kerajaan yang sangat besar: ada menteri-menteri, pemerintahan, dan kantor-kantor yang besar- besar. Iblis mempunyai wakil-wakil, lima diantaranya wajib diwaspadai. Pertama, tsabar, dia selalu mendatangi orang yang sedang kesusahan atau tertimpa musibah, baik kematian anak atau kerabat, dan lain-lain. Kemudian dia melancarkan bisikannya dan menyatakan permusuhannya kepada Allah. Di ucapkannya, melalui mulut orang yang tertimpa musibah itu, keluh-kesah, dan caci-maki terhadap ketentuan Allah atas dirinya. Kedua, Dasim, setan inilah yang selalu berusaha, dengan sekuat tenaganya, untuk menceraiberaikan ikatan perkawinan, mengorbankan rasa benci satu sama lain di kalangan suami istri, sehingga terjadi perceraian. Dia adalah anak kesayangan iblis di seantero kerajaannya yang sangat besar. Ketiga, Al-A’war, dia dan seluruh penghuni kerajaannya, adalah spesialis-spesialis dalam urusan mempermudah terjadinya perzinaan. Anak-anaknya menjadikan indah bagian bawah tubuh kaum wanita ketika mereka keluar rumah, khususnya kaum wanita masa kini, betul-betul sangat menggembirakan iblis di kerajaannya yang besar. Keempat, Maswath, spesialis dalam menciptakan kebohongan-kebohongan besar maupun kecil. Kelima, Zalnabur, setan yang satu ini bergentayangan di pasar-pasar di seluruh penjuru dunia. Merekalah yang mengobarkan pertengkaran, caci-maki ,  perselisihan dan bunuh membunuh antara sesama manusia.[11]

Kedurhakaan Iblis

Kedurhakaan pertama yang dikisahkan oleh al-Qur’an adalah kedurhakaan iblis, dan rayuan pertama yang ditujukan kepada manusia guna mendurhakai Allah SWT. adalah yang dilakukan oleh iblis.

Iblis enggan enggan sujud kepada Adam, padahal ia termasuk yang diperintah Allah untuk sujud. Sujud kepada Adam bukan berarti menyembahnya, tetapi sujud penghormatan atas kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada manusia pertama itu. “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam’; mereka pun bersujud tetapi iblis (enggan bersujud). Dia tidak termasuk mereka yang bersujud” (QS. al-A’raf 7:11). Allah Yang Mengetahui bertanya “bertanya” kepada iblis: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) saat aku menyuruhmu?’ Ia menjawab: ‘Aku lebih baik dari padanya; Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS. al-A’raf 7:12).[12]

Demikianlah pula halnya bila ada di antara manusia yang menganggap dirinya lebih mulia dan lebih terhormat dari orng lain, baik karena keturunannya, bangsanya, sukunya, warna kulitnya, dan lain-lain, seperti sebagian manusia yang masih mengakui adanya kasta dalam masyarakat dan di suatu belahan bumi yang lain yang masih memperlakukan undang-undang ras diskriminasi atau perbedaan bangsa dan warna kulit. Serta banyak lagi ketimpangan-ketimpangan yang masih terdapat di beberapa suku, daerah, negara dan benua lainnya. Maka manusia-manusia yang berkarakter seperti beberapa contoh di atas adalah sama dengan golongan iblis.[13]

Adapun sifat-sifat syaitan adalah sebagai berikut:

1.      Waswasah (bisikan)

Syaitan membisikkan keraguan, kebimbangan dan keinginan untuk melakukan kejahatan ke dalam hati manusia. Bisikan itu dilakukan dengan cara yang sangat halus sehingga manusia tidak menyadarinya. Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan kita untuk meminta perlindungan kepada Rabb an-Nas dari bisikan syaitan tersebut.

2.      Nisyan (lupa)

Lupa meang sesuatu yang manusiawi. Tapi syaitan berusaha membuat manusia lupa dengan Allah SWT. atau paling kurang membuat manusia menjadikan lupa sebagai alasan untuk menutupi kesalahan atau menghidari tanggung jawab.

3.      Tamani (angan-angan)

Syaitan berusaha memperdayakan pikiran manusia dengan khayalan yang mustahil terjadi dan dengan angan-angan kosong, Allah mengingatkan kita akan tekad syaitan yang membangkitkan angan-angan kosong pada diri manusia.

4.      Tazyim (memandang baik perbuatan maksiat)

Syaitan berusaha dengan segala macam cara menutupi keadaan yang sebenarnya sehingga yang batil kelihatan terpuji dan sebagainya.

5.      Wa’dun (janji palsu)

Syaitan berusaha membujuk umat manusia supaya mau mengikutinya dengan memberikan janji-janji yang menggiurkan yaitu keuntungan yang akan mereka peroleh jika mau mengikuti ajakannya. Di akhirat nanti syaitan akan mengakui bahwa janji-janji yang diberikannya kepada umat manusia dulu di dunia adalah janji-janji palsu yang dia pasti tidak mampu menepatinya.

6.      Kaidun (Tipu daya)

Syaitan berusaha dengan segala macam tipu daya untuk menyesatkan umat manusia. Akan tetapi sebenarnya tipu daya syaitan itu tidak aka nada pangaruhnya bagi orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT. Allah menegaskan bahwa tipu daya syaitan itu lemah.

7.      Shaddun (hambatan)

Syaitan berusaha untuk menghalang-halangi umat manusia menjalankan perintah  Allah SWT dengan menggunakan segala macam hambatan. Allah SWT mengisahkan di dalam surat an-Naml bahwa burung Hud-Hud melaporkan kepada Nabi Sulaiman tentang Ratu Saba dan rakyatnya yang telah dihalangi oleh syaitan dari jalan Allah sehingga mereka tidak dapat petunjuk.

8.      ‘Adawah (permusuhan)

9.      Syaitan berusaha menimbulkan permusuhan dan rasa saling membenci di antara sesame manusia, karena dengan permusuhan itu manusia akan lupa diri dan melakukan hal-hal yang itdak dibenarkan oleh Allah unutk membinasakan musuh-musuhnya. Salah satu sebab Allah SWT melarang minum khamar dan judi adalah karena dengan du perbuatan itu syaitan akan menimbulkan permusuhan dan rasa saling membenci.[14]

Seorang muslim juga beriman dan percaya, bahwa di antara manusia ada yang menjadi auliya’ pembela syaitan yang menguasai dan melupakan mereka dari mengingat Allah, yang membujuk dan memperdayakan mereka, mengajarkan kepada mereka kebatilan lalu menjadikan mereka tuli dari mendengarkan kebenaran, menjadikan penglihatan mereka buta dari melihat dalil-dalil bukti kebenaran sehingga mereka menjadi tunduk di bawah penghambaan terhadap syaitan.[15]

Usaha-Usaha Melawan Syaitan

Ada beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk melawan syaitan antara lain:

1.        Masuk Islam dengan car kaffah (utuh) dan menjauhi semua langkah-langkah syaitan.

2.        Selalu menyadari bahwa syaitan adalah musuh utama, dan memperlakukannya sebagai musuh.

3.        Secara praktis Rasulullah SAW mengajar beberapa hal berikut:

a.       Membaca al-Isti’azah.

b.      Membaca al-Ma’uzatain (surat al-Falaq dan surat an-Nas).

c.       Membaca ayat Kursi (al-Baqarah ayat 225).

d.      Membaca surat al-Baqarah lengkap.

e.       Membaca zikir 100 kali sehari.

f.       Mengingat Allah SWT.

g.      Berwudhu tatkala marah.[16]

                                   

II.                KESIMPULAN

Gaib merupakan suatu yang tersembunyi, tidak kelihatan, atau tidak diketahui sebab-sebabnya. Sementara, kamus berbahasa Arab menjelaskannya dengan antonim dari syahadat. Kata syahadat berarti hadir atau kesaksian, baik dengan mata kepala maupun mata hati. Jika demikian, yang tidak hadir adalah gaib. Sesuatu yang tidak disaksikan juga adalah gaib.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jin diartikan sebagai makhluk halus (yang dianggap berakal). Dari segi bahasa al-Qur’an, kata jinn terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, jim ج)), nun (ن), dan nun (ن). Menurut pakar-pakar bahasa, semua kata yang terdiri dari rangkaian ketiga huruf ini mengandung makna ketersembunyian atau ketertutupan.

Di dalam pendefinisian kata “setan” terdapat beberapa pendapat. Ada yang menduga bahwa kata “setan” atau “syaithan” dalam bahasa Arab terambil dari bahasa Ibrani yang berarti lawan atau musuh.

Iblis yang juga syaitan itu hanya satu. Sahabat Nabi saw., Ibn  ‘Abbas menurut sebuah riwayat berpendapat bahwa setan adalah anak cucu iblis. Anak cucunya tidak mati, kecuali dengan kematian iblis yang pernah bermohon agar diberi tangguh sampai hari kebangkitan (QS. Al-A’raf [7]: 14).

 Catatan Kaki :

[1] M. Qurays Shihab, Yang Tersembunyi, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),  hlm. 24-26.

[2] M. Qurays Shihab, Ibid, hlm. 29-30.

[3] Sayid Sabiq, Akidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996), hlm. 139-140.

[4] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid I, (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), hlm. 40.

[5] Sayid Sabiq, Op. cit, hlm. 140-141.

[6] Sayid Sabiq, Op. cit, hlm. 144.

[7] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm. 125-128.

[8] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm. 132-134.

[9] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm. 135

[10] Sayid Sabiq, Op. cit, hlm. 145.

[11] Muhammad Isa Dawud, Dialog Dengan Jin Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),  hlm. 61-62.

[12] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm.137-138.

[13] Zainal Arifin Djamaris, Islam Aqidah dan Syari’ah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 83.

[14] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), hlm. 103-107.

[15] Abu Bakar Jaabir al-Jazairy, Pedoman dan Program Hidup Muslim, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), hlm. 168.

[16] Yunahar Ilyas, Ibid, hlm. 110-111.

No comments:

Post a Comment

Tinggalin kommentar ya :D