Membangun karakter atau yang lebih
populer dengan istilah Character Building, merupakan istilah yang tidak
asing lagi bagi kita. Istilah character building biasanya banyak dijual
di kursus-kursus kepribadian, bengkel-bengkel hati dan atau jiwa, khutbah-khutbah
atau penyuluhan spiritual, bahkan sering didiseminasikan dalam seminar-seminar
pengembangan diri, baik secara praksis-implementatif maupun
teoritis-paradikmatik.
Lalu, muncul pertanyaan-pertanyaan kritis: Membangun
karakter, Apa sich? Atau dalam dialek Jawa Timuran: Yo opo seh, character
building iku? Dan sebagainya.
Sebagaimana yang telah kita pahami
bersama, pengertian karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, seperti tabiat,
watak, akhlak, atau budi pekerti yang merupakan distingsi (pembeda) antara seseorang
dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian membangun adalah proses pengolahan
dan pembentukan suatu unsur atau materi yang sudah ada menjadi sesuatu yang
baru dan berbeda. Dari kedua pengertian tersebut, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa membangun karakter adalah suatu proses pembentukan watak atau
budi pekerti. Tentunya dalam pengertian yang positif, tujuan dari pembentukan
watak atau budi pekerti di sini adalah menjadi lebih baik dan terpuji dalam
kapasitasnya sebagai pribadi yang mempunyai akal budi dan jiwa.
Dalam perspektif yang lebih luas,
membangun karakter bisa kita korelasikan dengan keberadaan kita sebagai
keluarga besar Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang mempunyai tujuan
utama membentuk manusia yang berbudi luhur, bisa membedakan antara yang benar
(haq) dan salah (batil). Membangun karakter adalah sebuah ikhtiar dan harapan
kita bersama untuk meningkatkan kualitas individu (kesalehan individu) dan
kesalehan sosial sekaligus. Secara empiris, kesalehan individu dan kesalehan
sosial sudah semestinya secara given terejawantah dalam perilaku
sehari-hari,
baik secara individual behavior maupun social behavior.
Ketika seorang Warga mencapai derajat saleh secara individu dan sosial, maka
inilah sejatinya konsep besar tentang capaian tertinggi “berbudi luhur” atau
yang sering penulis sebut dimillist ifg dengan akhlaqul karimah, insan
kamil atau derajat kesempurnaan dalam bertingkah laku (fi’liyah),
bertutur kata (qauliyah), kewibawaan dan bijaksana (taqririyah).
Hal ini ditegaskan oleh Nabi SAW dalam haditsnya: Innama bu’itstu li
utammima makaarimal akhlaq (Sesungguhnya Aku (Muhammad) diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia).
Karakter Warga yang Berbudi Luhur
Argumentasi tak terbantahkan yang
dikonsep dan dirumuskan oleh para founding fathers (leluhur) Setia Hati
Terate menemukan relevansinya dengan nilai-nilai Islam yaitu sama-sama
menegaskan tujuan membentuk manusia yang berakhlaqul karimah atau berbudi luhur
yang secara otomatis jelas bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Yu’minuuna billahi wal yaumil
akhiri wa ya’muruuna bil ma’rufi wa yanhauna ‘anil munkari wa yusaari’una fil
khairaati wa ulaaika minashshalihin”
Artinya: Mereka beriman kepada Allah
dan hari akhir, menegakkan kebenaran dan mencegah perbuatan munkar dan
menyegerakan untuk berbuat kebaikan, mereka itulah orang-orang yang saleh (Q.S
Ali Imran: 114)
Ini artinya bahwa semakin seseorang
itu setia pada hatinya maka seseorang tersebut akan semakin taat dan patuh pada
keimanan masing-masing agamanya. Melalui ajaran “setia hati” itulah diharapkan
lahirnya bibit-bibit/generasi unggul yang mempunyai karakter kuat, cerdas,
tangguh dan kredibel. Tentu untuk mendapatkan bibit unggul dan generasi yang
cerdas membutuhkan “bayaran yang mahal”. Bayaran tersebut adalah kerja keras,
sungguh-sungguh, konsisten dan yang terpenting adalah keteladanan. PSHT
membutuhkan sosok panutan yang benar-benar istiqamah dan berkepribadian yang
saleh secara individu maupun sosial. Konsistensi dan keteladanan disini artinya
bahwa ketika seorang warga mengajak/mengamalkan ajaran berbudi luhur, tahu
benar dan salah (amar ma’ruf nahi munkar), maka sebelum mengajak, warga
tersebut harus sudah membenahi dirinya sendiri, emosi dan nafsunya sehingga dia
berbudi luhur. Sesuai Firman Allah SWT:
“Yaa ayyuhalladzina ‘amanu lima
taquuluuna ma la taf’aluun. Kabura maqtan ‘indallahi an taquuluu ma la
taf’aluun”
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan/perbuat. Amat
besar (menjadi kebohongan besar) kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan (Q.S Ash Shaf: 2-3).
Pertanyaan kritisnya sekarang adalah
apakah secara de facto, realitas empiris di lapangan, warga-warga kita
sudah seperti tersebut di atas? Mari kita semua bermuhasabah dan instrospeksi
diri. Kalau ternyata sudah, maka syukur Alhamdulillah, tapi kalau itu belum,
maka hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar, baik bagi individu
masing-masing warga maupun organisasi.
Dalam perspektif sejarah perkembangan
peradaban Islam (Islamic civilization), mencetak generasi unggul yang
mempunyai karakter kuat telah menjadi misi profetis (kenabian) Muhammad SAW
ketika melakukan revolusi Mekkah dengan agenda reformasi total dari akhlak
jahiliyah (keterbelakangan) menuju era pencerahan spiritual (spiritual
enlightment). Dalam konteks kekinian, misi profetis Muhammad SAW tersebut
terdapat benang merah dengan yang telah dimulai oleh PSHT pada awal abad 20
setelah sebelumnya diinisiasi oleh sosok yang akrab disebut Ki Ageng
Soerodiwirjo tepatnya pada tahun 1903 dengan melakukan pencerahan kepada
masyarakat melalui ajaran “keselamatan” Sedulur Tunggal Kecer (STK).
Pencerahan tersebut dilakukan dengan
merumuskan tujuan besar didirikannya sebuah organisasi dengan sarana/media
pencak silat yakni untuk membentuk manusia yang luhur budinya. Kemudian atas
persetujuan Ki Ageng Soerodiwirjo, murid beliau, yang bernama Ki Hadjar Hardjo
Oetomo beserta murid-murid lainnya memunculkan kata “Persaudaraan” di depan
kata “Setia Hati” tepatnya pada 1917. Dan pada tahun 1922 Ki Hadjar kembali
menegaskan pentingnya arti “Persaudaraan” dalam mengembangkan organisasi
tersebut dengan mendirikan PSHT. Terlepas dari kontroversi soal sejarah dan pro
kontra metode penulisannya, misi persaudaraan tersebut compatible dengan
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab
shahihain yang artinya: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu
sehingga ia mengasihi saudaranya seperti mengasihi dirinya sendiri”
Ditegaskan juga dalam Al Qur’an:
“Innamal mu’minuuna ikhwatun fa
aslihuu baina akhawaikum wattaqullaaha la’allakum turhamuun”
Artinya: Sesungguhnya orang-orang
yang beriman adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu
dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat. (Q.S Al
Hujuraat: 10).
Lalu diperkuat Firman Allah SWT:
“Wa’tashimuu bi habblillahi jami’an wa
la tafarraquu wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum idzkuntum a’daan fa allafa baina
kuluubikum fa asbahtum bi ni’matihi ikhwanan. Wa kuntum ‘ala syafaahufratin
minannari fa anqadzakum minha, kadzalika yubayyinullahulakum aayaatihi
la’allakum tahtaduun”
Artinya: Dan berpegang teguhlah
kalian semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai dan ingatlah
akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) saling
bermusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat
Allah orang-orang yang bersaudara: kamu telah berada di tepi jurang neraka,
lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikian Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk (Q.S Ali Imran: 103).
Character Building dan Kecerdasan Emosi
Sebagai organisasi masyarakat, suka
atau tidak suka, PSHT harus terus berbenah diri untuk mengikuti kodrat irama
jamannya. Era modernism dan globalisasi menuntut PSHT---yang notabene sebagai
salah satu pilar penting civil society di Indonesia---untuk siap
berkontestasi di tengah-tengah masyarakat mondial (dunia). PSHT harus
mengaktualisasikan dirinya dengan berkontribusi bagi perkembangan dan kemajuan
masyarakat. Agar mampu berperan secara optimal, PSHT harus membekali kapasitas
para anggota (warganya). Bagaimana strategi dan langkah-langkah
pembangunan kapasitas dan karakter warga dilakukan? Banyak cara yang harus
dilakukan untuk membangun kapasitas dan karakter warga PSHT. Salah satu
diantaranya adalah media pendidikan formal maupun informal. Bagaimana Warga
didorong untuk terus mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga kuat tradisi
intelektualismenya dan ahli dalam riset serta teknologi. Pendidikan formal
merupakan salah satu instrumen signifikan dalam membangun karakter. Sebab
dengan pendidikan formal secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak
pada pengembangan kepribadian dan skill individu seseorang warga. Dengan
pendidikan formal juga akan mengasah pola pikir (mindset) warga dalam
mengolah kecerdasan emosi dan empatinya terhadap lingkungan sekitar dimana dia
tinggal.
Penulis jadi teringat dengan apa yang
pernah disampaikan Mas Sakti Tamat dalam sarasehan di tempat mas Liliek/HHM
pada 27 Maret 2010 lalu, bahwa seorang warga PSHT adalah sosok yang berkarakter
bijak, jujur, sabar, ikhlas dan amanah. Masyarakat dimana dia (warga) tersebut
tinggal merasa gembira, nyaman, aman dan terlindungi. Dengan kata lain seorang
warga PSHT adalah sosok yang “khairunnas anfa’uhum linnas” (sebaik-baik
manusia adalah yang hidupnya bermanfaat untuk orang lain). Untuk membentuk
karakter seperti itu perlu juga pendidikan informal dan aktualisasi diri.
Pendidikan informal secara eksternal bisa diperoleh dalam pelatihan-pelatihan
kepemimpinan, pendidikan pesantren, seminari, kefrateran, training ESQ dan
kegiatan-kegiatan spiritual lainnya. Sedang untuk media aktualisasi diri, warga
PSHT bisa terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti RT/RW,
ormas, LSM, forum-forum keagamaan (pengajian), lembaga-lembaga keagamaan,
persekutuan gereja dan sebagainya.
Sedangkan secara internal, pendidikan
informal ini bisa diperoleh melalui sistem atau tahapan-tahapan latihan siswa
maupun warga. Di sinilah pentingnya diproduksi kurikulum latihan yang
sistemik-komprehensif atau semacam modul yang mengacu pada 5 (lima) prinsip
dasar pendidikan Setia Hati yaitu Persaudaraan, Olahraga, Kesenian, Beladiri
dan Ke SH an. Masing-masing dibagi porsinya disesuaikan dengan
kebutuhan.
Terlepas dari semua cara/media
pembangunan karakter seperti dijelaskan di atas, yang tak kalah pentingnya
adalah satu hal yakni keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Ini harus
menjadi keinginan kuat warga PSHT sebagai bentuk moral choice (keputusan
moral) yang harus diambil. Pendidikan formal, pendidikan informal,
pelatihan/training, penataran, sarasehan, aktualisasi diri di masyarakat
hanyalah media atau instrumen semata. Semuanya tidak akan berarti apa-apa alias
tanpa makna apabila di dalam diri individu warga PSHT tersebut tidak ada
keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Allah SWT berfirman:
“Innallaha la yughayyiru ma bi qaumin
hatta yughayyiruu ma bi anfusihim”
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah nasib sesuatu kaum, sehingga mereka sendiri yang merubahnya. (Q.S
Ar Ra’d: 11).
Tuhan tidak akan merubah keadaan
seseorang, selama seseorang tersebut tidak mau belajar dari sebab-sebab
kesalahan dan kemunduran (keterbelakangan) mereka itu sendiri, baik sekarang
maupun di masa lampau. Inilah pentingnya seorang warga memiliki karakter dan
kecerdasan emosi. Bagaimana dia mengolah emosinya untuk mengambil keputusan,
menentukan pilihan dan skala prioritas dalam hidupnya, memotivasi diri,
membangun relasi/jaringan (networking) dan mengenali emosi diri
sekaligus orang lain. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan
emosional atau sering akrab di sebut EQ sebagai “himpunan bagian dari
kecerdasan social yang melibatkan kemampuan memantau perasaan social yang
melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah dan menggunakan informasi
untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedang menurut Daniel Goleman,
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya
dengan intelegensi (to manage our emotional life with intelligence);
menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of
emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati dan social skill. Goleman menambahkan
bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari relasi social yang baik. Bahkan
tegas Goleman, bahwa kecerdasan emosi itu jauh lebih berperan ketimbang IQ itu
sendiri.
Dalam Islam diajarkan bahwa seseorang
dalam kondisi bebas (memilih) untuk merubah karakternya. Bagi yang memiliki
akhlak yang baik, mungkin saja karena atas perintah hawa nafsunya akan
terjerumus ke dalam kenistaan (kebatilan). Sedang bagi yang memiliki akhlak
yang kurang bagus, karena melalui penerangan dan bimbingan para ahli ma’rifat
dengan berbagai instrospeksi diri (muhasabah) dapat mencapai puncak
kesempurnaan (luhur budinya).
Catatan Penutup
Dalam konteks berbagai hal di atas,
PSHT sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan, dengan demikian juga bisa
berperan sebagai organisasi moral berbasis ajaran teologis (ketauhidan) yaitu
ilmu yakin untuk mempertebal keimanan transendental kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Kalau penulis boleh menyebut PSHT merupakan organisasi/lembaga dakwah.
Oleh karenanya, mutlak meniscayakan peran para Warga (anggotanya) untuk menjadi
juru dakwah di tengah-tengah masyarakat sampai terwujudnya masyarakat yang
berbudi luhur yang bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Kita
harus segera menyudahi friksi dan memutus mata rantai konflik internal yang
tidak produktif termasuk diantaranya kontroversi mengenai ilmu-ngelmu, ajaran,
falsafah dan sebagainya.
Dalam konteks politik kebangsaan yang
lebih luas, warga PSHT sangat ditunggu kontribusinya bagi kemajuan bangsa dan
Negara. Bagaimana warga PSHT memberikan jawaban atas problem-probem kebangsaan
universal, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan korupsi alias
keserakahan. Bagaimana berbagai ketimpangan sosial di atas dicarikan solusinya.
Untuk menjawab semua hal tersebut sudah menjadi keniscayaan kalau warga PSHT
mutlak mempunyai karakter yang kuat. Dan ajaran “setia hati” mestinya bisa
menjawab itu semua jika benar-benar dijadikan nilai-nilai dan prinsip dasar
bagi kehidupan warganya. Masyarakat luas butuh bukti bukan janji-janji dan
teori-teori yang utopis (melangit). Mari kita sama-sama berkompetisi membumikan
“Memayu Hayuning Bawana”. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab
No comments:
Post a Comment
Tinggalin kommentar ya :D