Dalam kitab suci al-Qur’an, tepatnya setelah QS. al-Fatihah,
yang merupakan induk al-Qur’an sekaligus kesimpulannya, hal pertama yang
ditemukan adalah uraian tentang fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
orang-orang bertakwa, sedangkan sifat pertama orang-orang bertakwa adalah
yu’minuna bi al-ghaib (percaya yang gaib).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan gaib dengan
sesuatu yang tersembunyi, tidak kelihatan, atau tidak diketahui sebab-sebabnya.
Sementara, kamus berbahasa Arab menjelaskannya dengan antonim dari syahadat.
Kata syahadat berarti hadir atau kesaksian, baik dengan mata kepala maupun mata
hati. Jika demikian, yang tidak hadir adalah gaib. Sesuatu yang tidak
disaksikan juga adalah gaib. Bahkan, sesuatu yang tidak terjangkau oleh
pancaindra juga merupakan gaib, baik disebabkan oleh kurangnya kemampuan maupun
oleh sebab-sebab lainnya.
Tidak dapat disangkal bahwa banyak hal yang gaib bagi
manusia, serta beragam pula tingkat kagaibannya. Ada gaib mutlak, yang tidak
dapat terungkap sama sekali karena hanya Allah yang mengetahuinya, dan ada pula
gaib yang relatif. Sesuatu yang tidak diketahui seseorang tetapi diketahui oleh
orang lain, ia adalah gaib relatif. Relativitas tersebut dapat berkaitan dengan
waktu dan dapat juga dengan manusianya. Puncak dari segala gaib mutlak adalah
Allah SWT..
Selain Allah, masih ada sekian gaib mutlak lainnya yang
berada pada peringkat di bawah peringkat kegaiban Allah SWT., seperti hari
Kiamat. Tidak satu makhluk pun mengetahui kapan datangnya.[1] Serta keberadaan
jin dan syaitan.
B. Gambaran
Tentang Jin
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jin diartikan
sebagai makhluk halus (yang dianggap berakal). Dari segi bahasa al-Qur’an, kata
jinn terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, jim ج)), nun (ن), dan nun (ن). Menurut pakar-pakar
bahasa, semua kata yang terdiri dari rangkaian ketiga huruf ini mengandung
makna ketersembunyian atau ketertutupan. Kata janna (جن) dalam QS. al-An’am (6): 76 berarti menutup. Allah berfirman:
$£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$#
#uäu $Y6x.öqx.$#
Artinya: “Ketika malam telah menutupinya, dia (Ibrahim as.)
melihat bintang.”
Manusia yang tertutup akalnya (gila) dinamai majnun,
sedangkan bayi yang masih dalam perut ibu, karena ketertutupannya oleh perut,
maka dinamai janin. Al-Junnah adalah perisai karena dia menutupi seseorang dari
gangguan orang lain, baik fisik maupun non-fisik.
Secara umum, masyarakat Jahiliyah percaya adanya makhluk
yang bernama jin, yang mereka yakini sebagai makhluk yang memiliki kekuatan
tersembunyi. Menurut kepercayaan mereka, jin mampu mengakibatkan gangguan, di
samping juga memberi manfaat.[2]
Jin ialah makhluk yang berbentuk roh dan berakal, mempunyai
keinginan, dan diberi beban sebagaimana manusia. Mereka tidak diciptakan dari
materi manusia dan tidak dapat diindra. Alam dan bentuk mereka secara hakikat
tidak dapat diketahui.
Untuk mengetahui alam jin adalah wahyu, kita telah mendapat
petunjuk al-Qur’an dan hadits yang sahih tentang pokok materi mereka ciptakan,
tentang golongan mereka, tentang tempat kembalinya setiap golongan, tentang
beban mereka, dan tentang mendengarkannya mereka terhadap bacaan al-Qur’an dari
Rasulullah.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari tanah kering, dari tanah hitam yang telah berubah. Kami telah
menciptakan jin dari api yang panas sebelum manusia” (QS. Al-Hijr: 26-27).
Kedua ayat itu menunjukkan ketentuan sebagai berikut:
1. Manusia
mulanya diciptakan dari debu dan dicampur dengan air. Debu itu lantas menjadi
tanah dan merendam sehingga menjadi tanah liat yang berubah dan berbau,
kemudian menjadi tanah kering.
2. Jin pada
mulanya diciptakan dari api yang tidak berasap karena panas adalah jilatan api
murni.
3. Ciptaan jin
lebih awal dari pada ciptaan manusia.[3]
Jin itu berbeda dengan manusia dan malaikat, baik tentang
asal kejadiannya, fungsi dan peranannya, maupun tentang sifat-sifatnya. Tetapi
dalam kewajiban beribadah kepada Allah, mereka sama seperti manusia,
berdasarkan firman Allah dalam surat al-Dzariyat ayat 56:
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”[4]
Jin mempunyai beberapa golongan. Pertama, paripurna dalam
konsistensinya, bersikap baik, dan mengerjakan kebaikan. Kedua, kebalikan dari
yang pertama. Ketiga, bodoh dan lengah. Keempat, kafir, ini paling mayoritas.
Allah berfirman menceritakan keadaan jin ketika mendengarkan
al-Qur’an: “Di antara kami ada yang saleh dan yang tidak. Kami mempunyai jalan
(aliran yang bermacam-macam)” (QS. 72:11). Artinya, di antara mereka ada yang
sangat baik dan ada yang kurang baik. Mereka mempunyai aliran yang berbeda-beda
sebagaimana manusia.
Jin diberi beban sebagaimana manusia dan para rasul. Allah
berfirman: “Wahai golongan jin dan manusia. Tidakkah sampai kepada kalian para
rasul di antara kalian yang menceritakan beberapa ayat-Ku dan memberi
peringatan kepada kalian pada pertemuan hari kiamat? Mereka menjawab: Kami
menyaksikan diri kami. Mereka terpedaya oleh kehidupan dunia. Mereka mengakui
kesalahan diri mereka. Sesungguhnya mereka itu orang-orang kafir” (QS. 6:130).
“Kami akan menyelesaikan kalian, wahai dua golongan yang diberatkan. Nikmat
Tuhan yang manakah yang kalian dustakan? Wahai golongan jin dan manusia, jika
kalian mampu menembus dari berbagai penjuru langit dan bumi, maka tembuslah.
Kalian tidak akan mampu menembus kecuali dengan kekuatan. Nikmat Tuhan yang
manakah yang kalian dustakan?” (QS. 55:31-34).[5]
Allah menundukkan jin kepada Sulaiman. Menurut sepengetahuan
kita, hal itu tidak pernah terjadi kepada yang lain. Allah berfirman: “Angin
Kami tundukkan kepada Sulaiman yang bertiup dengan perintahnya dengan
sepoi-sepoi menurut kehendaknya. Masing-masing setan menjadi tukang bangunan
dan tukang selam sedang yang lain diikat dengan belenggu rantai. Ini pemberian
Kami. Oleh karenanya, berikanlah atau tahankanlah dengan dengan tanpa hisab”
(QS. 38:36-49).[6]
C. Gambaran Tentang
Iblis dan Setan
Di dalam
pendefinisian kata “setan” terdapat beberapa pendapat. Ada yang menduga bahwa
kata “setan” atau “syaithan” dalam bahasa Arab terambil dari bahasa Ibrani yang
berarti lawan atau musuh. Alasannya antara lain, kata itu telah dikenal dalam
agama Yahudi yang lahir mendahului agama Kristen dan Islam. Seperti diketahui
orang-orang Yahudi menggunakan bahasa Ibrani.
Pendapat di atas hanya bisa diterima jika dapat dibuktikan
bahwa yang pertama berbicara tentang setan adalah penganut agama Yahudi.
Demikian ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam bukunya yang berjudul Iblis. Tetapi,
tulisnya lebih jauh: “Sesungguhnya itu tidak dapat dibuktikan karena
orang-orang Yahudi baru menggunakan kata setan dalam arti kejahatan setelah
mereka berhijrah ke Babel. Sedangkan semua orang tahu bahwa jalur Babel
bukanlah jalur yang tertutup bagi bangsa-bangsa Semit selain Yahudi.”
Pakar Mesir cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan
bahwa syaithan (setan) merupakan kata Arab asli yang sudah sangat tua, bahkan
boleh jadi lebih tua dari kata-kata serupa yang digunakan selain oleh orang
Arab. Ini dibuktikan dengan adanya sekian kata Arab asli yang dapat dibentuk
dengan bentuk kata syaithan.
Misalnya syathatha (شطط), syatha (شط), syawatha (شوط), syathana (شطن) yamg mengandung makna jauh, sesat, berkobar, dan terbakar
serta eksterm.”
Dalam kamus al-Misbah al-Munir karya Ahmad Ibn Muhammad ‘Ali
al-Fayyumi (w. 1368) dijelaskan bahwa kata syaithan boleh jadi terambil dari
akar kata syathana yang berarti jauh karena setan menjauh dari kebenaran atau
menjauh dari rahmat Allah. Boleh jadi juga ia terambil dari kata syatha dalam
arti melakukan kebatilan atau terbakar.
Dari segi makna, pakar bahasa, al-Jauhari (w. 1005),
menjelaskan bahwa semua yang membangkang, baik jin, manusia maupun binatang,
dinamai syaithan.[7]
Di dalam dunia ini terdapat banyak nama-nama setan. Semua
agama mengenal setan, walau nama ini bukan satu-satunya nama untuk yang durhaka
atau yang jahat. Al-Qur’an misalnya, menunjuk juga setan dengan kata
ath-Thaghut. Kata ini terambil dari kata kerja thagha yang pada mulanya
digunakan untuk menggambarkan meluapnya air sehingga mencapai batas kritis dan
membahayakan. Makna ini kemudian berkembang sehingga digunakan untuk segala
sikap yang melampaui batas, baik terhadap Tuhan maupun terhadap manusia.
Kekufuran, kedurhakaan, pembangkangan, serta kesewenang-wenangan dilukiskan
dengan Thughyan. Setan dinamai thaghut karena ia telah mencapai puncak
kekufuran dan pembangkangan terhadap Allah SWT.
Luficer dikenal oleh umat Kristen sebagai salah satu nama
setan. Kata ini pada mulanya berarti Pembawa Cahaya. Manusia yang dinamai
Luficer berarti menyala, berkilau, dan angkuh dengan keangkuhan yang luar biasa
sehingga menimbulkan kejengkelan siapa yang melihatnya serta mengharap
kejatuhannya.
Nama lain untuk setan yang ditemukan dalam Perjanjian Baru
adalah Ba’alzabul. Kata ini terdiri dari dua kata, yaitu Ba’al/beel yang
berarti Tuhan dan Zebul yang berarti lalat. Karena lalat sering hinggap atau
menyukai tempat kotor/sampah, Ba’alzabul dipahami dalam arti Tuhan sampah/Tuhan
lalat.
Iblis juga merupakan nama yang populer. Ada yang berpendapat
bahwa kata itu bukan terambil dari bahasa Arab. Konon, asalnya dari bahasa
Yunani yakni Diabolos. Kata ini terdiri dari kata dia yang berarti di tengah
atau sewaktu-waktu dan ballein yang berarti melontar atau mencampakkan. Dari
penggabungannya, lahir makna-makna antara lain, menantang, menghalangi, dan
yang berada antara dua pihak untuk memecah belah dan menciptakan kesalahpahaman
antara keduanya.[8]
Iblis yang juga syaitan itu hanya satu. Sahabat Nabi saw.,
Ibn ‘Abbas menurut sebuah riwayat
berpendapat bahwa setan adalah anak cucu iblis. Anak cucunya tidak mati,
kecuali dengan kematian iblis yang pernah bermohon agar diberi tangguh sampai
hari kebangkitan (QS. Al-A’raf [7]: 14).[9]
“Iblis adalah sebuah
nama bukan dari bahasa Arab. Oleh karenanya, kata “iblis” tidak dapat ditashrif
(ditanwin). Menurut satu pendapat, kata “iblis” adalah berasal dari bahasa Arab
yang dikeluarkan dari kata “iblas”, yaitu putus asa dari rahmat Allah atau
menjauhkan diri dari kebaikan dan tidak dapat ditashrif (ditanwin) karena tidak
ada nama yang sepadan atau karena kata “iblis” menyerupai nama-nama yang bukan
Arab.
Jika malaikat adalah tentara Allah yang selalu mengerjakan
kebaikan dan keberuntungan, maka iblis beserta setan adalah musuh Allah yang
selalu mengerjakan kejahatan dan kerusakan. Perbuatan malaikat dan setan berada
di dua ujung yang saling bertentangan. Pekerjaan setan selalu menentang Allah,
memecah belah, menghancurkan, merusak, membinasakan, memutus perintah Allah
agar disambung, dan menyambung perintah-Nya agar diputus.[10]
Di dunia iblis terdapat kerajaan yang sangat besar: ada
menteri-menteri, pemerintahan, dan kantor-kantor yang besar- besar. Iblis
mempunyai wakil-wakil, lima diantaranya wajib diwaspadai. Pertama, tsabar, dia
selalu mendatangi orang yang sedang kesusahan atau tertimpa musibah, baik
kematian anak atau kerabat, dan lain-lain. Kemudian dia melancarkan bisikannya
dan menyatakan permusuhannya kepada Allah. Di ucapkannya, melalui mulut orang
yang tertimpa musibah itu, keluh-kesah, dan caci-maki terhadap ketentuan Allah
atas dirinya. Kedua, Dasim, setan inilah yang selalu berusaha, dengan sekuat
tenaganya, untuk menceraiberaikan ikatan perkawinan, mengorbankan rasa benci
satu sama lain di kalangan suami istri, sehingga terjadi perceraian. Dia adalah
anak kesayangan iblis di seantero kerajaannya yang sangat besar. Ketiga,
Al-A’war, dia dan seluruh penghuni kerajaannya, adalah spesialis-spesialis
dalam urusan mempermudah terjadinya perzinaan. Anak-anaknya menjadikan indah
bagian bawah tubuh kaum wanita ketika mereka keluar rumah, khususnya kaum
wanita masa kini, betul-betul sangat menggembirakan iblis di kerajaannya yang
besar. Keempat, Maswath, spesialis dalam menciptakan kebohongan-kebohongan
besar maupun kecil. Kelima, Zalnabur, setan yang satu ini bergentayangan di
pasar-pasar di seluruh penjuru dunia. Merekalah yang mengobarkan pertengkaran,
caci-maki , perselisihan dan bunuh
membunuh antara sesama manusia.[11]
Kedurhakaan Iblis
Kedurhakaan pertama yang dikisahkan oleh al-Qur’an adalah
kedurhakaan iblis, dan rayuan pertama yang ditujukan kepada manusia guna
mendurhakai Allah SWT. adalah yang dilakukan oleh iblis.
Iblis enggan enggan sujud kepada Adam, padahal ia termasuk
yang diperintah Allah untuk sujud. Sujud kepada Adam bukan berarti
menyembahnya, tetapi sujud penghormatan atas kelebihan yang dianugerahkan Allah
kepada manusia pertama itu. “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan kamu (Adam),
lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada malaikat: ‘Bersujudlah
kamu kepada Adam’; mereka pun bersujud tetapi iblis (enggan bersujud). Dia
tidak termasuk mereka yang bersujud” (QS. al-A’raf 7:11). Allah Yang Mengetahui
bertanya “bertanya” kepada iblis: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) saat aku menyuruhmu?’ Ia menjawab: ‘Aku lebih baik dari padanya;
Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS.
al-A’raf 7:12).[12]
Demikianlah pula halnya bila ada di antara manusia yang
menganggap dirinya lebih mulia dan lebih terhormat dari orng lain, baik karena
keturunannya, bangsanya, sukunya, warna kulitnya, dan lain-lain, seperti
sebagian manusia yang masih mengakui adanya kasta dalam masyarakat dan di suatu
belahan bumi yang lain yang masih memperlakukan undang-undang ras diskriminasi
atau perbedaan bangsa dan warna kulit. Serta banyak lagi
ketimpangan-ketimpangan yang masih terdapat di beberapa suku, daerah, negara
dan benua lainnya. Maka manusia-manusia yang berkarakter seperti beberapa
contoh di atas adalah sama dengan golongan iblis.[13]
Adapun sifat-sifat syaitan adalah sebagai berikut:
1. Waswasah
(bisikan)
Syaitan membisikkan keraguan, kebimbangan dan keinginan
untuk melakukan kejahatan ke dalam hati manusia. Bisikan itu dilakukan dengan
cara yang sangat halus sehingga manusia tidak menyadarinya. Oleh sebab itu
Allah SWT memerintahkan kita untuk meminta perlindungan kepada Rabb an-Nas dari
bisikan syaitan tersebut.
2. Nisyan (lupa)
Lupa meang sesuatu yang manusiawi. Tapi syaitan berusaha
membuat manusia lupa dengan Allah SWT. atau paling kurang membuat manusia
menjadikan lupa sebagai alasan untuk menutupi kesalahan atau menghidari
tanggung jawab.
3. Tamani
(angan-angan)
Syaitan berusaha memperdayakan pikiran manusia dengan
khayalan yang mustahil terjadi dan dengan angan-angan kosong, Allah
mengingatkan kita akan tekad syaitan yang membangkitkan angan-angan kosong pada
diri manusia.
4. Tazyim
(memandang baik perbuatan maksiat)
Syaitan berusaha dengan segala macam cara menutupi keadaan
yang sebenarnya sehingga yang batil kelihatan terpuji dan sebagainya.
5. Wa’dun (janji
palsu)
Syaitan berusaha membujuk umat manusia supaya mau
mengikutinya dengan memberikan janji-janji yang menggiurkan yaitu keuntungan
yang akan mereka peroleh jika mau mengikuti ajakannya. Di akhirat nanti syaitan
akan mengakui bahwa janji-janji yang diberikannya kepada umat manusia dulu di
dunia adalah janji-janji palsu yang dia pasti tidak mampu menepatinya.
6. Kaidun (Tipu
daya)
Syaitan berusaha dengan segala macam tipu daya untuk
menyesatkan umat manusia. Akan tetapi sebenarnya tipu daya syaitan itu tidak
aka nada pangaruhnya bagi orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah
SWT. Allah menegaskan bahwa tipu daya syaitan itu lemah.
7. Shaddun
(hambatan)
Syaitan berusaha untuk menghalang-halangi umat manusia
menjalankan perintah Allah SWT dengan
menggunakan segala macam hambatan. Allah SWT mengisahkan di dalam surat an-Naml
bahwa burung Hud-Hud melaporkan kepada Nabi Sulaiman tentang Ratu Saba dan
rakyatnya yang telah dihalangi oleh syaitan dari jalan Allah sehingga mereka
tidak dapat petunjuk.
8. ‘Adawah
(permusuhan)
9. Syaitan
berusaha menimbulkan permusuhan dan rasa saling membenci di antara sesame
manusia, karena dengan permusuhan itu manusia akan lupa diri dan melakukan
hal-hal yang itdak dibenarkan oleh Allah unutk membinasakan musuh-musuhnya.
Salah satu sebab Allah SWT melarang minum khamar dan judi adalah karena dengan
du perbuatan itu syaitan akan menimbulkan permusuhan dan rasa saling
membenci.[14]
Seorang muslim juga beriman dan percaya, bahwa di antara
manusia ada yang menjadi auliya’ pembela syaitan yang menguasai dan melupakan
mereka dari mengingat Allah, yang membujuk dan memperdayakan mereka,
mengajarkan kepada mereka kebatilan lalu menjadikan mereka tuli dari
mendengarkan kebenaran, menjadikan penglihatan mereka buta dari melihat
dalil-dalil bukti kebenaran sehingga mereka menjadi tunduk di bawah penghambaan
terhadap syaitan.[15]
Usaha-Usaha Melawan Syaitan
Ada beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk melawan syaitan
antara lain:
1. Masuk Islam
dengan car kaffah (utuh) dan menjauhi semua langkah-langkah syaitan.
2. Selalu
menyadari bahwa syaitan adalah musuh utama, dan memperlakukannya sebagai musuh.
3. Secara
praktis Rasulullah SAW mengajar beberapa hal berikut:
a. Membaca
al-Isti’azah.
b. Membaca
al-Ma’uzatain (surat al-Falaq dan surat an-Nas).
c. Membaca ayat
Kursi (al-Baqarah ayat 225).
d. Membaca surat
al-Baqarah lengkap.
e. Membaca zikir
100 kali sehari.
f. Mengingat
Allah SWT.
g. Berwudhu
tatkala marah.[16]
II.
KESIMPULAN
Gaib merupakan suatu yang tersembunyi, tidak kelihatan, atau
tidak diketahui sebab-sebabnya. Sementara, kamus berbahasa Arab menjelaskannya
dengan antonim dari syahadat. Kata syahadat berarti hadir atau kesaksian, baik
dengan mata kepala maupun mata hati. Jika demikian, yang tidak hadir adalah
gaib. Sesuatu yang tidak disaksikan juga adalah gaib.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jin diartikan
sebagai makhluk halus (yang dianggap berakal). Dari segi bahasa al-Qur’an, kata
jinn terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, jim ج)), nun (ن), dan nun (ن). Menurut pakar-pakar
bahasa, semua kata yang terdiri dari rangkaian ketiga huruf ini mengandung
makna ketersembunyian atau ketertutupan.
Di dalam pendefinisian kata “setan” terdapat beberapa pendapat.
Ada yang menduga bahwa kata “setan” atau “syaithan” dalam bahasa Arab terambil
dari bahasa Ibrani yang berarti lawan atau musuh.
Iblis yang juga syaitan itu hanya satu. Sahabat Nabi saw.,
Ibn ‘Abbas menurut sebuah riwayat
berpendapat bahwa setan adalah anak cucu iblis. Anak cucunya tidak mati,
kecuali dengan kematian iblis yang pernah bermohon agar diberi tangguh sampai
hari kebangkitan (QS. Al-A’raf [7]: 14).
Catatan Kaki :
[1] M. Qurays Shihab, Yang Tersembunyi, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 24-26.
[2] M. Qurays Shihab, Ibid, hlm. 29-30.
[3] Sayid Sabiq, Akidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996),
hlm. 139-140.
[4] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid I, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1998), hlm. 40.
[5] Sayid Sabiq, Op. cit, hlm. 140-141.
[6] Sayid Sabiq, Op. cit, hlm. 144.
[7] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm. 125-128.
[8] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm. 132-134.
[9] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm. 135
[10] Sayid Sabiq, Op. cit, hlm. 145.
[11] Muhammad Isa Dawud, Dialog Dengan Jin Muslim, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 61-62.
[12] M. Qurays Shihab, Op. cit, hlm.137-138.
[13] Zainal Arifin Djamaris, Islam Aqidah dan Syari’ah,
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 83.
[14] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI
UMY, 1993), hlm. 103-107.
[15] Abu Bakar Jaabir al-Jazairy, Pedoman dan Program Hidup
Muslim, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), hlm. 168.
[16] Yunahar Ilyas, Ibid, hlm. 110-111.
No comments:
Post a Comment
Tinggalin kommentar ya :D